ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Peneliti Politik Internasional LIPI Sandy Nur Ikfal Raharjo
mengatakan, kekerasan yang terjadi di Rakhine pekan ini merupakan tahap baru
dalam konflik tentang isu minoritas Rohingya di Myanmar. Jika sebelumnya muslim
Rohingya hanya menjadi objek kekerasan, kini sebagian mereka telah memilih
untuk melawan dan membangun kekuatan bersenjata.
“Hal ini akan semakin memperumit upaya penyelesaian yang
perlu dilakukan. Untuk mengatasi konflik di atas, ada beberapa isu penting yang
perlu dipahami dulu oleh berbagai pihak yang berkepentingan, yaitu aktor yang
terlibat dan faktor penyebab konfliknya,” katanya, Senin (28/8).
Untuk aktor, setidaknya ada tiga kelompok aktor utama dalam
konflik di Rakhine Myanmar, yaitu kelompok muslim, kelompok Budha, dan
pemerintah. Pada kelompok Muslim, mereka terdiri atas orang-orang etnis
Rohingya dan beberapa etnis minoritas lain seperti Kaman dan Rakhine Muslim.
Sebagian telah mendiami wilayah Rakhine sejak abad ke-15 dan
sebagian lagi mulai menempati wilayah Rakhine pada abad ke-19 dan ke-20 pada
masa kolonialisme Inggris. Sebagai kelompok minoritas, mereka berkepentingan
agar hak-hak hidup dasar mereka dapat terpenuhi, baik hak sipil dan politik
yang berupa pengakuan kewarganegaraan maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya
yang berupa akses terhadap pendidikan, kesehatan serta pengakuan terhadap
identitas agama mereka yang berbeda dari agama nasional negara.
Meskipun demikian, sejak tahun 1962 Pemerintah Myanmar telah
menjalankan kebijakan dikriminatif, terutama terhadap Muslim Rohingya. Oleh
karena itu, berbagai upaya perlawanan terhadap diskriminasi tersebut diwujudkan
dalam bentuk perjuangan politik untuk mendirikan negara bagian muslim yang
otonom.
Bahkan, terang Sandy, ada pula gerakan Mujahidin yang
memperjuangkan hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dan
menjadi negara yang merdeka. Di awal perjuangan mereka, kelompok Mujahidin ini
berhasil dikalahkan oleh Pemerintah Myanmar.
Namun pecahnya konflik pekan ini menunjukkan bahwa mereka
tetap eksis dan justru semakin kuat. Awalnya, gerakan perjuangan bersenjata dan
politik ini tampak tidak terlalu bergema di kalangan komunitas Rohingya dan
Muslim Rakhine. Namun akibat menjadi korban kekerasan terus-menerus, dukungan
tersebut tampaknya mulai menguat sebagai harapan bagi komunitas muslim untuk
memperjuangkan hak-haknya.
GEMPAR...!!!! BARU SAJA KATA Panglima TNI Khawatir Bangsa Indonesia dalam Ancaman BENARKAH...??
Aktor kedua adalah kelompok Budha, yang setidaknya ada tiga
pihak yang bersatu pada konflik ini. Pertama, para politisi dari Rakhine
Nationalities Development Party (RNDP) yang berperan sebagai aktor yang
mensekuritisasi isu agama dan etnis kepada warga Budha Rakhine. Kedua, para
biksu beraliran keras yang juga menjadi aktor yang mensekuritisasi gerakan
anti-Muslim Rohingya dan menyuarakan pengusiran warga Muslim dari pemukiman
yang didominasi orang Budha. Salah satu pimpinannya adalah Biksu Wirathu yang
dijuluki oleh media internasional sebagai “Burmese bin Laden”. Ia memproduksi
Digital Video Disc (DVD) dan selebaran yang menyebarkan rumor melawan Muslim.
Biksu Wirathu juga
memimpin Gerakan 969 yang menghubungkan Budhisme dengan Nasionalisme Burma dan
menyuarakan islamofobia/anti-Muslim. Walaupun demikian, ada pula beberapa biksu
yang bersikap sebaliknya dengan membantu para pengungsi Muslim dan
mempromosikan dialog antaragama sebagai salah satu cara penyelesaian konflik.
Namun, jumlah mereka masih sedikit, bahkan oleh kelompok biksu garis keras yang
mayoritas, mereka dianggap sebagai pengkhianat.
Dibalik posisi mereka sebagai kelompok mayoritas yang
mengopresi kelompok minoritas, sebenarnya kepentingan mereka adalah pemenuhan
dan pengakuan eksistensi kelompok mereka. Eksistensi mereka mulai terancam oleh
keberadaan orang-orang Muslim yang mulai berkembang dari segi jumlah populasi
maupun segi ekonomi.
Ketiga, masyarakat umum Budha Rakhine. Mereka berperan
sebagai kelompok yang rentan diprovokasi dan dimobilisasi untuk melakukan
kekerasan terhadap kelompok lain. Dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang
rendah yang dikombinasikan dengan faktor elemen budaya dan agama akan tingginya
kedudukan biksu dalam tatanan masyarakat, mereka akan mematuhi apa yang
disampaikan oleh para biksu.
Aktor ketiga yang turut berperan penting dalam konflik
adalah pemerintah. Mereka turut berperan sebagai aktor yang mensekuritisasi
dengan mengatakan bahwa orang-orang Muslim Rohingya bukanlah bagian dari
etnisitas asli Myanmar. Bahkan mereka juga meminta UNHCR untuk memindahkan para
“pelintas batas ilegal” tersebut ke negara ketiga yang mau menerima mereka.
Pemerintah juga dianggap membiarkan kekerasan dilakukan oleh
orang-orang Budha terhadap orang Muslim di Rakhine. Menurut Human Right Watch,
ada aparat keamanan pemerintah yang
dilaporkan terlibat aktif dalam pembunuhan dan penyiksaan terhadap minoritas muslim.
Padahal pemerintah seharusnya dapat menjadi aktor fungsional yang membantu
mendamaikan dua kelompok masyarakat yang berkonflik.
Untuk identifikasi faktor (penyebab konflik), ada tiga
kategorisasi yaitu faktor pemicu, faktor akselerator, dan faktor struktural.
Pada faktor pemicu (trigger), bentrokan pekan ini dipicu oleh berita
diserangnya kamp pengungsi warga Muslim oleh aparat pemerintah yang
mengakibatkan terbunuhnya 2 orang warga Muslim. tindakan telah menimbulkan
kemarahan masyarakat dan kelompok bersenjata yang akhirnya berujung pada
penyerangan puluhan pos polisi di wilayah tersebut.
Pada faktor yang bersifat akselerator, sudah ada perdebatan
antarkelompok terkait isu orang-orang Muslim Rohingya apakah bagian dari etnis
asli Myanmar atau bukan. Kelompok yang pro-Rohingya mengatakan bahwa mereka
adalah penduduk asli Myanmar yang sudah menempati wilayah Rakhine jauh sebelum
era kolonisasi Inggris. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa Rohingya harus
dicatat sebagai salah satu kelompok etnis di Myanmar dan diberikan hak
kewarganegaraan.
Di sisi lain, pemerintah dan kelompok yang anti-Rohingya
yang lebih besar kekuatannya mengatakan bahwa orang Rohingya tidak pernah
menjadi ras asli nasional di Myanmar, tetapi mereka adalah imigran dari Bengal
yang datang setelah Perang Anglo-Burma tahun 1824. Sebagai imigran, mereka
tidak berhak mendapatkan kewarganegaraan. Selain isu penolakan sebagian besar
warga Budha Myanmar terhadap pengakuan etnis Rohingya, isu lain yang juga
menjadi perhatian adalah adanya kecemburuan dan kecurigaan terhadap orang-orang
minoritas Rohingya.
Populasi masyarakat Muslim Rohingya terus mengalami
peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Perkembangan tersebut kemudian
menimbulkan persaingan dengan orang-oang Budha Rakhine, baik dalam hal
penguasaan lahan maupun dalam hal ekonomi/bisnis. Dengan demikian, kepentingan
yang sebenarnya bukanlah kebutuhan untuk menjaga eksistensi agama Budha, tetapi
lebih kepada kepentingan ekonomi.
Pada faktor yang bersifat struktural (mendasar), konflik di
Rakhine sebenarnya merupakan puncak gunung es dari serangkaian kebijakan
diskiminatif Pemerintah Myanmar sejak tahun 1962. Proses diskriminasi dilakukan
secara sistematis, misalnya melalui pemisahan tempat tinggal warga muslim
dengan warga mayoritas Budha, perampasan berbagai hak sipil, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya yang dilakukan melalui kebijakan untuk tidak memberikan
status warga negara bagi orang-orang Muslim Rohingya. Mereka diharuskan
membayar ketika ingin mengunjungi desa tetangga. Mereka juga tidak diizinkan
untuk melakukan perjalanan ke lebih dari tiga kota. Mereka juga dibatasi
aksesnya terhadap pendidikan tingkat kedua dan ketiga serta layanan-layanan
publik lainnya. Diskriminasi ini kemudian lama-kelamaan memengaruhi cara
pandang orang-orang Budha yang mayoritas terhadap orang Islam yang minoritas.
Akibatnya, terjadi stereotip-stereotip negatif terhadap mereka sehingga
diskiriminasi juga akhirnya dilakukan oleh warga masyarakat. Oleh sebab itu,
tidak mengherankan jika konflik komunal warga Budha dengan warga Muslim tidak
hanya terjadi pada tahun 2012–2013 saja, tetapi sebelumnya juga pernah terjadi
pada tahun 1978, 1992, 2001, dan 2009.
Lalu, bagaimana cara penyelesaian yang dapat dilakukan?
konflik komunal di Rakhine sudah masuk pada tahap limited destructive blows
(penyerangan yang bersifat destruktif). Pada tahap ini seharusnya resolusi
konflik sudah tidak dapat lagi mengandalkan kemampuan dan kemauan antarkelompok
Budha dan Muslim yang berkonflik untuk menyelesaikan masalah melalui negosiasi.
Langkah resolusi konflik yang dapat dilakukan adalah melalui mediasi atau
arbitrasi pihak ketiga, dan juga sudah dapat menggunakan intervensi kekuatan
(militer). Kemudian terkait dengan peran pemerintah yang justru ikut
mensekuritisasi konflik maka tekanan dari dunia internasional perlu diperkuat
agar mereka bertanggung jawab menyelesaikan konflik internal tersebut.
Dalam hal ini, ASEAN sebenarnya diharapkan dapat merangkul
pemerintah Myanmar untuk berperan aktif dan netral dalam penyelesaian konflik.
Namun, seperti diketahui bahwa ASEAN sangat menjunjung tinggi prinsip
non-intervensi dan kedaulatan masing-masing negara anggota, sehingga sulit
untuk mengharapkan ASEAN melakukan langkah konkrit selain himbauan-himbauan
yang bersifat normatif. Tekanan yang lebih besar justru dapat dilakukan oleh
negara-negara di luar ASEAN seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Ya Allah ampuni kami yang belum pernah berjihad di jalanMu,
BalasHapusmenangkan mujahidin di Rohingya
Amin
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus